Sahabat Taufiq dan Gagasan Reformulasi Kaderisasi PMII Jember: Membangun Gerakan dari Nalar dan Nilai

Sahabat Taufiq dan Gagasan Reformulasi Kaderisasi PMII Jember

Penulis :
Rafli Hartono

Kaderisasi dalam tubuh Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Jember berada di titik kritis. Di tengah derasnya arus digitalisasi, pragmatisme kampus, dan krisis arah gerakan mahasiswa, kaderisasi kerap kehilangan substansi. Hal ini dapat dilihat dengan tidak adanya ruang pembentukan nalar dan nilai, melainkan sekadar rutinitas administratif yang berhenti di tahap formalitas pelatihan. Kecenderungan ini terlihat dari melemahnya tradisi intelektual, menurunnya minat kader dalam kajian kritis, serta absennya kesinambungan antara kader baru dan kader menengah. Kaderisasi kehilangan ruh karena tidak bertransformasi mengikuti perubahan zaman. Kondisi inilah yang menjadi dasar refleksi bagi Sahabat Mohammad Taufiqur Rahman untuk mengusung gagasan PMII Jember SIAP (Sinergi, Inklusif, Adaptif, Progresif), yang merupakan kerangka kerja kaderisasi baru berorientasi pada transformasi intelektual dan keberlanjutan kader.

Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena yang paling mencolok dalam tubuh kaderisasi PMII Jember adalah melemahnya kesinambungan antara jenjang pelatihan dan praksis sosial. Banyak kader berhenti pada level formal dan tanpa mengalami proses pendalaman nilai dan nalar pergerakan. Kader baru sering kali kehilangan arah setelah pelatihan karena tidak ada sistem mentoring yang memastikan mereka tumbuh menjadi kader penggerak. Akibatnya, ruang-ruang intelektual mengering, diskursus sosial melemah, dan militansi ideologis bergeser menjadi aktivitas seremonial. Selain itu, perubahan karakter mahasiswa modern juga menjadi tantangan serius. Generasi yang tumbuh di tengah era digital dan ekonomi instan cenderung pragmatis, lebih berorientasi pada pencapaian pribadi ketimbang tanggung jawab sosial. Ruang kaderisasi PMII sering gagal menjawab kebutuhan psikologis, intelektual, dan kultural generasi ini, sehingga banyak kader muda tidak menemukan relevansi antara PMII dan realitas hidup mereka.

Taufiq dan Reformulasi Kaderisasi: Membangun Ekosistem Pembinaan Berkelanjutan

Melihat kondisi tersebut, Sahabat Taufiq memandang bahwa jalan keluar tidak bisa lagi sebatas memperbanyak pelatihan. Ia menawarkan reformasi yang lebih mendasar yaitu reformulasi kurikulum kaderisasi yang memadukan disiplin ilmu, pendekatan riset, dan pembinaan berkelanjutan. Sebab, kaderisasi bukan lagi suatu kegiatan, tetapi sistem pembinaan yang hidup terus-menerus, di mana setiap kader mendapat ruang untuk belajar, berdialektika, dan berkontribusi secara nyata. Dalam gagasan yang dibawakan Taufiq, beberapa poin penting yang dapat menjawab problematika ini.

Sinergi dalam gagasannya, Taufiq ingin menciptakan hubungan fungsional antara PC, komisariat, dan rayon, agar sistem kaderisasi tidak terputus di tiap level. Setiap pelatihan harus disertai tindak lanjut berupa program riset mini, mentoring tematik, atau proyek sosial, sehingga kader belajar menghubungkan teori dengan realitas.

Inklusif berarti membuka ruang kaderisasi bagi semua mahasiswa, baik dari pesantren, vokasi, maupun kampus umum dengan pendekatan yang sesuai konteks. Kaderisasi tidak boleh hanya berpusat pada satu corak kampus, tetapi harus menyatu dengan keragaman sosial dan akademik yang ada di Jember.

Adaptif, Taufiq mendorong agar kaderisasi mampu menjawab tantangan generasi digital. Proses pembelajaran harus mengintegrasikan literasi media, komunikasi publik, dan pemanfaatan teknologi sebagai bagian dari strategi kaderisasi. Dengan begitu, kader PMII tidak hanya piawai dalam forum diskusi, tetapi juga mampu mengartikulasikan gagasan di ruang digital.

Progresif berarti menegaskan arah kaderisasi yang dinamis dan berpijak pada riset sosial. PMII tidak cukup melahirkan aktivis, tetapi harus mencetak produsen pengetahuan yang merupakan kader yang mampu meneliti, menulis, dan mengadvokasi isu-isu masyarakat.

Salah satu aspek paling visioner dalam gagasan Taufiq adalah penguatan siklus mentoring kader. Ia melihat bahwa selama ini, pelatihan kader cenderung satu arah: senior mengajar, junior mendengar. Model ini menciptakan jarak hierarkis dan menghambat pertumbuhan kritis kader muda. Melalui sistem mentoring bergilir, setiap kader diberi kesempatan menjadi mentor dan mentee secara bergantian. Dengan pola ini, kader belajar menjadi subjek dalam proses pendidikan, bukan sekadar objek. Mereka dilatih untuk berpikir kritis, membimbing teman sejawat, dan memproduksi gagasan. Mentoring juga menjadi ruang interdisipliner bagi kader-kader lintas disiplin ilmu seperti kader hukum bisa belajar dari kader komunikasi dan kader pertanian berdiskusi dengan kader ekonomi, yang menciptakan laboratorium sosial kolaboratif serta saling melengkapi. Model ini memastikan kaderisasi tidak menua, karena setiap generasi baru selalu membawa perspektif segar yang memperkaya gerakan.

Kaderisasi sebagai Ruang Penciptaan, Bukan Pengulangan

Reformasi kaderisasi yang ditawarkan Taufiq menegaskan bahwa kaderisasi bukan sekadar pelestarian tradisi lama, tetapi ruang penciptaan gagasan baru. PMII harus berani menantang stagnasi pola pikir dan membangun kultur belajar yang terbuka terhadap kritik dan inovasi. Kaderisasi bukan lagi tentang siapa yang paling lama berproses, tetapi siapa yang paling berkontribusi menghasilkan gagasan dan aksi yang relevan. Dalam pandangannya, PMII tidak boleh kehilangan dua hal yaitu nalar dan nilai. Nalar adalah kemampuan berpikir kritis yang terus berkembang dan nilai adalah kompas moral yang memastikan gerakan tetap berpihak pada kemanusiaan dan keadilan sosial. Untuk itu, kaderisasi harus menjadi tempat kedua hal itu tumbuh seimbang.

Gagasan reformulasi kaderisasi Sahabat Taufiq bukan sekadar pembaruan teknis, tetapi upaya rekonstruksi arah gerakan mahasiswa di Jember. Dengan mengembalikan ruh kaderisasi pada proses pembentukan nalar, nilai, dan praksis sosial, PMII Jember diarahkan menjadi organisasi yang hidup, berpikir, dan berdaya ubah. PMII Jember SIAP bukan hanya slogan, tetapi rancangan masa depan kaderisasi yang sinergis dalam gerak, inklusif dalam ruang, adaptif terhadap zaman, dan progresif dalam cita. Melalui gagasan ini, Taufiq ingin memastikan bahwa setiap kader PMII bukan sekadar aktivis yang hadir di forum, melainkan intelektual muda yang membumikan perubahan dari nalar dan nilai.

Previous Post