Tanda keikhlasan: Tidak mencari popularitas dan merasa diri kurang dalam beramal

Pada era digital yang semakin berkembang, keikhlasan dalam beramal menjadi salah satu aspek penting dalam menjaga kualitas iman seorang Muslim. Dalam konteks spiritual, ikhlas tidak hanya tentang tindakan fisik, tetapi juga tentang niat dan kesadaran diri terhadap Tuhan. Banyak orang mencari cara untuk memperkuat keyakinan mereka melalui berbagai amalan, baik itu shalat, puasa, atau sedekah. Namun, keikhlasan sering kali menjadi tantangan utama karena adanya dorongan untuk mendapatkan pengakuan dari sesama manusia.
Dalam artikel ini, kita akan membahas dua tanda ikhlas yang sangat penting, yaitu khawatir pada popularitas dan merasa diri penuh kekurangan dalam beramal. Kedua hal ini menjadi indikator kuat apakah seseorang benar-benar beramal dengan niat yang tulus. Dengan memahami konsep-konsep ini, kita dapat mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan kualitas ibadah dan memperkuat hubungan dengan Allah SWT.
Selain itu, kita juga akan melihat bagaimana para ulama salaf dulu menjalani hidup mereka dengan penuh kesadaran akan keikhlasan. Mereka tidak pernah mencari ketenaran, tetapi justru lebih senang berada di tempat yang tidak dikenal siapa pun. Ini memberikan pelajaran penting bagi kita semua bahwa kebahagiaan sejati tidak datang dari popularitas, melainkan dari kesadaran akan kelemahan diri dan kecintaan terhadap Tuhan.
Khawatir pada Popularitas: Tanda Ikhlas yang Sering Diabaikan
Salah satu tanda ikhlas yang sering diabaikan adalah rasa khawatir terhadap popularitas. Banyak orang yang beramal dengan harapan mendapat pengakuan dari orang lain. Namun, menurut ajaran Islam, keikhlasan tidak boleh dikaitkan dengan keinginan untuk disebut-sebut atau diakui oleh sesama manusia. Ulama salaf seperti Al Fudhail bin ‘Iyadh pernah menyatakan bahwa seorang hamba tidak akan benar-benar ikhlas jika ia ingin dikenal atau disebut-sebut.
Dalam kitab Ta’thirul Anfas, Al Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Wahai hamba Allah, sembunyikanlah selalu kedudukan muliamu. Jagalah selalu lisanmu. Minta ampunlah terhadap dosa-dosamu, juga dosa yang diperbuat kaum mukminin dan mukminat sebagaimana yang diperintahkan padamu.” Ini menunjukkan bahwa keikhlasan harus dibarengi dengan kesadaran akan kelemahan diri dan keinginan untuk tidak menonjolkan diri.
Banyak contoh nyata dari para ulama salaf yang menjauhi popularitas. Misalnya, Ibnul Mubarok yang pernah datang ke tempat sumber air tanpa dikenal oleh orang-orang sekitarnya. Setelah mendapatkan minuman, ia mengatakan kepada Al Hasan Al Bashri, “Kehidupan memang seperti ini. Inilah yang terjadi jika kita tidak terkenal dan tidak dihormati.” Ini menunjukkan bahwa ia lebih senang hidup dengan kehidupan yang sederhana daripada mencari ketenaran.
Merasa Diri Serba Kekurangan dalam Beramal
Tanda ikhlas yang kedua adalah merasa diri serba kekurangan dalam beramal. Para ulama salaf seringkali merasa bahwa amalan mereka belum sempurna dan masih memiliki kelemahan. Hal ini membuat mereka selalu berusaha memperbaiki diri dan tidak pernah merasa puas dengan apa yang telah mereka lakukan.
Dalam firman Allah, QS. Al Mu’minun: 60, disebutkan bahwa orang-orang yang beramal dengan hati yang takut adalah orang-orang yang benar-benar ikhlas. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menjelaskan bahwa ayat tersebut merujuk pada orang-orang yang berpuasa, bersedekah, dan shalat, tetapi mereka khawatir amalan mereka tidak diterima oleh Allah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah berkata, “Diterimanya suatu amalan berkaitan dengan melakukan sesuatu sesuai dengan yang diperintahkan. Setiap orang yang bertakwa pada Allah ketika ia beramal, maka ia akan melakukan sebagaimana yang diperintahkan. Akan tetapi ia tidak bisa memastikan sendiri bahwa amalan yang ia lakukan diterima di sisi Allah karena ia tidak bisa memastikan bahwa amalan yang ia lakukan sudah sempurna.”
Para salaf seperti Al Fudhail bin ‘Iyadh, Daud Ath Tho’i, dan Ibnul Mubarok seringkali mencela diri mereka sendiri. Mereka merasa bahwa mereka tidak layak disebut sebagai orang-orang sholih karena masih memiliki kelemahan dalam beramal. Contohnya, Ibnul Mubarok pernah berkata, “Aku menyukai orang-orang sholih. Akan tetapi, aku bukan termasuk mereka. Aku membenci orang-orang tholih (yang suka maksiat, pen). Sedangkan aku sebenarnya lebih jelek dari mereka.”
Pelajaran dari Ulama Salaf dalam Menjaga Keikhlasan
Para ulama salaf memberikan banyak pelajaran penting dalam menjaga keikhlasan. Mereka tidak pernah mencari ketenaran, tetapi justru lebih senang berada di tempat yang tidak dikenal siapa pun. Mereka juga selalu merasa bahwa amalan mereka belum sempurna dan masih memiliki kelemahan.
Al Hasan Al Bashri pernah mencela dirinya sendiri sambil mengatakan, “Diri ini sering mengucapkan perkataan orang-orang sholih, orang yang taat dan ahli ibadah. Namun diri ini sering melakukan kefasikan dan perbuatan riya’. Ini sungguh bukan perbuatan orang-orang yang ikhlas.” Ini menunjukkan bahwa mereka selalu sadar akan kelemahan diri dan tidak pernah merasa puas dengan apa yang telah mereka lakukan.
Dari pengalaman para ulama salaf, kita dapat belajar bahwa keikhlasan tidak hanya tentang tindakan fisik, tetapi juga tentang kesadaran akan kelemahan diri dan keinginan untuk tidak menonjolkan diri. Dengan memahami konsep-konsep ini, kita dapat meningkatkan kualitas ibadah dan memperkuat hubungan dengan Allah SWT.
Kesimpulan
Keikhlasan dalam beramal adalah salah satu aspek penting dalam menjaga kualitas iman seorang Muslim. Dua tanda ikhlas yang penting adalah khawatir pada popularitas dan merasa diri serba kekurangan dalam beramal. Para ulama salaf memberikan contoh nyata bahwa keikhlasan tidak boleh dikaitkan dengan keinginan untuk disebut-sebut atau diakui oleh sesama manusia.
Dengan memahami konsep-konsep ini, kita dapat meningkatkan kualitas ibadah dan memperkuat hubungan dengan Allah SWT. Keikhlasan tidak hanya tentang tindakan fisik, tetapi juga tentang kesadaran akan kelemahan diri dan keinginan untuk tidak menonjolkan diri. Dengan demikian, kita dapat menjalani kehidupan yang penuh makna dan bermakna.
