Haji untuk Diri Sendiri Terlebih Dahulu, Kemudian untuk Orang Lain

Haji Muslim di Mekah dengan pakaian ihram

Haji adalah salah satu rukun Islam yang paling penting, dan menjadi kewajiban bagi setiap Muslim yang mampu secara fisik maupun finansial. Dalam konteks ibadah haji, terdapat banyak aturan dan syarat yang harus dipenuhi agar pelaksanaan haji sah dan diterima oleh Allah. Salah satu hal yang sering menjadi pertanyaan adalah apakah seseorang boleh melakukan haji untuk orang lain sebelum dirinya sendiri menunaikan haji. Berdasarkan pendapat para ulama, terdapat perbedaan pandangan mengenai hal ini, namun mayoritas menyepakati bahwa seseorang harus lebih dahulu menunaikan haji untuk diri sendiri sebelum dapat melakukannya untuk orang lain.

Dalam tradisi keagamaan Islam, haji tidak hanya sekadar ritual fisik, tetapi juga merupakan bentuk pengabdian yang dalam. Ibadah ini memiliki makna spiritual yang mendalam, yang mencerminkan kesadaran akan kekuasaan Tuhan dan kepatuhan terhadap perintah-Nya. Oleh karena itu, syarat-syarat yang terkait dengan haji harus dipenuhi dengan sungguh-sungguh. Salah satu syarat utama adalah bahwa seseorang yang ingin menghajikan orang lain harus telah menunaikan haji untuk diri sendiri. Hal ini didasarkan pada hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang menjelaskan bahwa seseorang tidak boleh menghajikan orang lain sebelum ia sendiri menunaikan haji wajib.

Pandangan ini juga didukung oleh beberapa riwayat hadits yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberi nasehat kepada umatnya untuk mulai dari diri sendiri. Hal ini mencerminkan prinsip bahwa kebaikan dan ketaatan harus dimulai dari diri sendiri sebelum membantu orang lain. Meskipun demikian, terdapat perbedaan pendapat antara ulama Syafi’iyyah, Hanbali, dan Maliki dengan ulama Abu Hanifah dan Malik. Namun, mayoritas pendapat yang paling kuat adalah bahwa seseorang harus menunaikan haji untuk diri sendiri terlebih dahulu.

Dari segi hukum, jika seseorang melakukan haji untuk orang lain tanpa terlebih dahulu menunaikan haji untuk dirinya sendiri, maka haji tersebut dianggap tidak sah. Selain itu, biaya dan perlengkapan haji yang digunakan harus dikembalikan kepada orang yang diwakili. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya mematuhi syarat-syarat haji agar ibadah tersebut benar-benar diterima oleh Allah.

Syarat-Syarat Menunaikan Haji untuk Orang Lain

Menurut fatwa Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin, salah satu syarat utama untuk menghajikan orang lain adalah bahwa seseorang harus telah menunaikan haji untuk diri sendiri. Hal ini berlaku jika orang tersebut sudah berkewajiban menunaikan haji. Jika seseorang belum menunaikan haji, maka ia tidak boleh menghajikan orang lain.

Selain itu, syarat lainnya adalah bahwa orang yang menghajikan harus seorang muslim, berakal, dan mumayyiz (mampu membedakan antara yang baik dan buruk). Kebanyakan ulama sepakat bahwa semua syarat ini harus dipenuhi agar haji yang dilakukan sah dan diterima.

Pendapat yang menyatakan bahwa seseorang boleh menghajikan orang lain tanpa terlebih dahulu menunaikan haji untuk diri sendiri, seperti yang diajukan oleh Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, dinilai kurang tepat. Para ulama lainnya, termasuk ulama Syafi’iyyah dan Hanbali, cenderung lebih mengutamakan pendapat yang menyatakan bahwa seseorang harus menunaikan haji untuk diri sendiri terlebih dahulu.

Dalil-Dalil yang Mendukung Pendapat Ini

Salah satu dalil utama yang digunakan adalah hadits tentang Syubrumah. Dalam hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada seseorang yang mengucapkan "Labbaik 'an Syubrumah" (Aku memenuhi panggilanmu atas nama Syubrumah), dan kemudian menanyakan apakah orang tersebut telah menunaikan haji untuk dirinya sendiri. Ketika ia menjawab belum, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Berhajilah untuk dirimu sendiri, lalu hajikanlah untuk Syubrumah.”

Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menekankan pentingnya menunaikan haji untuk diri sendiri terlebih dahulu. Selain itu, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang berbunyi “Mulailah dari dirimu sendiri” juga menjadi dasar pendapat ini.

Perbedaan Pandangan Antara Ulama

Meskipun mayoritas ulama menyepakati bahwa seseorang harus menunaikan haji untuk diri sendiri terlebih dahulu, terdapat perbedaan pandangan antara mazhab-mazhab Islam. Misalnya, dalam mazhab Hanafi dan Maliki, diperbolehkan bagi seseorang untuk menghajikan orang lain meskipun ia sendiri belum menunaikan haji. Namun, pendapat ini dinilai kurang tepat oleh sebagian besar ulama karena bertentangan dengan hadits-hadits yang jelas.

Selain itu, ada juga pendapat yang menyatakan bahwa jika seseorang menghajikan orang lain tanpa menunaikan haji untuk diri sendiri, maka haji yang dilakukan untuk orang lain akan jatuh pada dirinya sendiri. Artinya, orang tersebut harus mengembalikan semua biaya dan perlengkapan haji kepada orang yang diwakili.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Berdasarkan berbagai dalil dan pendapat para ulama, disarankan agar seseorang lebih dahulu menunaikan haji untuk diri sendiri sebelum melakukan haji untuk orang lain. Hal ini tidak hanya sesuai dengan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tetapi juga menjadi bentuk kepatuhan terhadap syarat-syarat haji yang telah ditetapkan.

Selain itu, dengan menunaikan haji untuk diri sendiri terlebih dahulu, seseorang akan lebih memahami makna dan arti dari ibadah haji, sehingga bisa lebih bersemangat dalam membantu orang lain. Dengan demikian, ibadah haji yang dilakukan untuk orang lain akan lebih bermakna dan diterima oleh Allah.

Jika Anda ingin mengetahui lebih lanjut tentang hukum haji atau persyaratan-persyaratan lainnya, Anda dapat merujuk pada kitab-kitab fiqh seperti Fiqhul Ibadat karya Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin atau Shahih Fiqih Sunnah karya Abu Malik.

Referensi Tambahan

Untuk informasi lebih lanjut tentang hukum haji dan syarat-syaratnya, Anda dapat mengunjungi situs resmi Rumaysho.com yang menyediakan berbagai artikel dan fatwa tentang hukum Islam. Situs ini juga menyediakan panduan lengkap tentang haji, termasuk cara menunaikannya, syarat-syarat, dan ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi.

[1] HR. Abu Daud 1811 dan Ibnu Majah 2903. Hadits ini masih diperselisihkan keshahihannya dan statusnya apakah marfu’ (sabda Nabi) ataukah mawquf (hanya perkataan sahabat).
[2] HR. Muslim no. 997
[3] Sumber: Fatwa Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin dalam Fiqhul Ibadat, Darul Wathon, Riyadh
[4] Diolah dari penjelasan Abu Malik dalam Shahih Fiqih Sunnah, 2/168, Maktabah At Taufiqiyyah

Internal Link

Next Post Previous Post