Cara Bersih dan Kotor Menurut Asy Syaukani

Dalam kehidupan seorang Muslim, konsep suci dan najis memainkan peran penting dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam ibadah, kesehatan, dan interaksi sosial. Salah satu tokoh besar yang memberikan kontribusi signifikan dalam memahami prinsip-prinsip ini adalah Imam Besar Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani. Dalam kitabnya Ad Daroril Madhiyah, ia menjelaskan beberapa kaedah penting tentang hukum suci dan najis yang menjadi dasar bagi pemahaman fikih thoharoh (bersuci). Penjelasan ini tidak hanya relevan dalam konteks agama, tetapi juga memiliki implikasi filosofis dan etika yang luas.
Kaedah pertama yang disampaikan oleh Asy Syaukani adalah bahwa "hukum asal dari air adalah suci dan mensucikan, tanpa perselisihan." Ini menunjukkan bahwa air, sebagai elemen alam yang paling mendasar, dianggap bersih secara default. Kebiasaan manusia untuk menggunakannya dalam ritual bersuci seperti wudhu atau mandi junub merupakan bentuk pengakuan terhadap sifat suci air tersebut. Namun, meskipun air itu sendiri suci, jika terkontaminasi oleh sesuatu yang najis, maka air tersebut menjadi tidak layak digunakan. Hal ini menegaskan bahwa sifat suci air tidak berubah, tetapi kualitasnya bisa dipengaruhi oleh faktor eksternal.
Kaedah kedua menyatakan bahwa "jika ada berbagai cara dalam menyucikan (kotoran dan kencing manusia) sampai ada cara menyucikan yang ringan, maka itu tidak mencacati bahwa kotoran dan kencing manusia itu najis." Artinya, meskipun ada metode pembersihan yang lebih mudah, seperti hanya memercikkan air, hal ini tidak mengurangi status najis dari kotoran atau kencing. Contohnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan untuk menyiram kencing Arab Badui yang nakal di masjid, sedangkan untuk kencing bayi laki-laki, cukup diperciki. Meski demikian, kedua situasi ini tetap menunjukkan bahwa kencing adalah najis. Ini menegaskan bahwa cara pembersihan tidak mengubah hukum asli, melainkan hanya memenuhi syarat teknis agar air dapat digunakan kembali.
Kaedah ketiga menyatakan bahwa "asal segala sesuatu adalah suci." Prinsip ini menjadi dasar dalam banyak hukum Islam, termasuk dalam hal-hal yang berkaitan dengan kebersihan dan kewajiban bersuci. Jika sesuatu belum terbukti najis, maka hukumnya tetap suci. Prinsip ini juga menjadi dasar bagi penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis yang berkaitan dengan kebersihan. Misalnya, dalam banyak kasus, orang diperbolehkan menggunakan benda-benda tertentu tanpa harus membersihkannya terlebih dahulu, kecuali ada bukti bahwa benda tersebut najis.
Kaedah keempat menjelaskan bahwa "jika dikatakan bahwa sesuatu itu najis, maka ini berarti membebani hamba dengan suatu hukum." Oleh karena itu, hukum asalnya, seseorang hamba terbebas dari beban dan seorang hamba tidak dibebani kewajiban dengan sesuatu yang masih kemungkinan (muhtamal) najis atau tidaknya sampai ada dalil yang menyatakan dengan jelas bahwa itu najis. Prinsip ini menggarisbawahi pentingnya adanya bukti kuat sebelum seseorang diwajibkan untuk melakukan tindakan tertentu. Dalam praktiknya, ini berarti bahwa seseorang tidak boleh dianggap najis kecuali ada dalil yang jelas, baik dari Al-Qur’an maupun hadis, yang menyatakan bahwa sesuatu itu najis.
Pemahaman tentang suci dan najis tidak hanya terbatas pada bidang fikih, tetapi juga memiliki dampak psikologis dan sosial. Misalnya, dalam masyarakat Muslim, kebersihan fisik sering dikaitkan dengan kebersihan hati dan jiwa. Oleh karena itu, pentingnya menjaga kebersihan diri dan lingkungan menjadi bagian dari ajaran agama. Dalam konteks ini, kaedah-kaedah yang diajarkan oleh Asy Syaukani menjadi pedoman untuk memahami hukum-hukum bersuci secara lebih mendalam dan aplikatif.
Selain itu, konsep suci dan najis juga memiliki relevansi dalam konteks modern. Dengan perkembangan teknologi dan perubahan pola hidup, tantangan baru muncul dalam menjaga kebersihan. Misalnya, penggunaan air minum, penggunaan bahan-bahan sintetis, dan penggunaan media digital yang berpotensi terkontaminasi. Dalam hal ini, prinsip-prinsip yang diajarkan oleh Asy Syaukani tetap relevan, karena mereka memberikan kerangka kerja untuk memahami apa yang dianggap suci dan najis dalam kondisi yang berubah-ubah.
Dalam konteks pendidikan, pemahaman tentang suci dan najis juga menjadi bagian dari kurikulum keagamaan. Anak-anak dan remaja diajarkan untuk memahami hukum-hukum bersuci melalui pembelajaran formal dan informal. Dalam hal ini, guru dan orang tua memiliki peran penting dalam membimbing generasi muda untuk memahami nilai-nilai kebersihan dan kesucian yang menjadi bagian dari identitas Muslim.
Tidak hanya itu, konsep suci dan najis juga memiliki implikasi politik dan sosial. Dalam masyarakat yang pluralistik, pentingnya memahami hukum-hukum bersuci menjadi salah satu bentuk toleransi antar agama. Misalnya, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, pentingnya menjaga kebersihan lingkungan dan kebersihan diri menjadi bagian dari tanggung jawab sosial. Dalam hal ini, prinsip-prinsip yang diajarkan oleh Asy Syaukani bisa menjadi referensi untuk memahami bagaimana hukum-hukum kebersihan dapat diterapkan dalam konteks yang lebih luas.
Selain itu, konsep suci dan najis juga menjadi dasar bagi pengembangan ilmu fikih. Dalam studi fikih, pemahaman tentang suci dan najis menjadi bagian dari ilmu ushul fiqih, yang merupakan fondasi untuk memahami hukum-hukum Islam. Dengan demikian, kaedah-kaedah yang diajarkan oleh Asy Syaukani menjadi salah satu sumber utama dalam memahami hukum-hukum kebersihan dalam Islam.
Dalam konteks global, konsep suci dan najis juga memiliki relevansi dalam isu-isu kesehatan masyarakat. Misalnya, dalam pandemi, pentingnya menjaga kebersihan diri dan lingkungan menjadi bagian dari upaya mencegah penyebaran penyakit. Dalam hal ini, prinsip-prinsip yang diajarkan oleh Asy Syaukani bisa menjadi acuan untuk memahami bagaimana kebersihan bisa menjadi bagian dari upaya preventif dalam kesehatan masyarakat.
Secara keseluruhan, kaedah-kaedah yang diajarkan oleh Asy Syaukani tentang suci dan najis tidak hanya relevan dalam konteks agama, tetapi juga memiliki implikasi yang luas dalam kehidupan sehari-hari. Dengan memahami prinsip-prinsip ini, kita dapat menjaga kebersihan diri dan lingkungan, serta memahami hukum-hukum kebersihan yang menjadi bagian dari ajaran Islam. Dalam konteks modern, prinsip-prinsip ini tetap relevan dan bisa menjadi pedoman untuk memahami bagaimana kebersihan bisa menjadi bagian dari tanggung jawab sosial dan keagamaan.
Untuk informasi lebih lanjut tentang prinsip-prinsip kebersihan dalam Islam, Anda dapat mengunjungi sumber terpercaya.
