7 Hukum Shalat Sunnah (Seri 2)

Shalat sunnah di masjid saat safar

Shalat Sunnah: Hukum dan Praktik dalam Kehidupan Muslim

Shalat merupakan salah satu rukun Islam yang paling penting, namun tidak hanya shalat fardhu yang menjadi perhatian utama. Shalat sunnah juga memiliki peran besar dalam kehidupan seorang muslim. Dalam artikel ini, kita akan membahas hukum dan praktik shalat sunnah, khususnya ketika seseorang sedang melakukan perjalanan (safar) serta bagaimana shalat sunnah bisa dilakukan secara berjama’ah.

Shalat sunnah mencakup berbagai jenis, seperti shalat sunnah rawatib, shalat sunnah dhuha, shalat sunnah witir, dan lain-lain. Setiap jenis shalat sunnah memiliki hukum dan aturan tersendiri, terutama jika dilakukan saat safar. Menurut pendapat ulama, ketika seseorang sedang bersafar, ia diperbolehkan untuk melaksanakan shalat sunnah mutlak seperti shalat malam dan shalat dhuha. Namun, shalat sunnah rawatib selain shalat sunnah fajar (qobliyah shubuh) dilarang. Hal ini didasarkan pada hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyatakan bahwa beliau tidak pernah meninggalkan shalat sunnah fajar baik ketika bermukim maupun bersafar.

Selain itu, shalat sunnah secara berjama’ah juga menjadi topik menarik dalam pembahasan. Meskipun shalat sunnah bisa dilakukan sendirian (munfarid), ada pendapat bahwa shalat sunnah boleh dilakukan secara berjama’ah asalkan tidak menjadi kebiasaan. Dalam beberapa riwayat, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melakukan shalat sunnah bersama para sahabat, termasuk dengan Anas, Ibnu Abbas, dan Hudzaifah. Hal ini menunjukkan bahwa shalat sunnah secara berjama’ah diperbolehkan, terutama dalam konteks pengajaran atau edukasi.

Namun, mayoritas ulama berpendapat bahwa shalat sunnah lebih utama dilakukan secara sendirian karena lebih mendekatkan diri kepada Allah. Hanya dalam situasi tertentu seperti shalat ‘ied, shalat kusuf, dan shalat istisqo’, shalat sunnah secara berjama’ah dianggap lebih layak. Selain itu, dalam shalat tarawih, banyak ulama yang memperbolehkan shalat sunnah secara berjama’ah.

Dalam konteks praktik, shalat sunnah menjadi bagian dari ibadah yang dapat membantu seseorang merasa lebih dekat dengan Tuhan. Shalat sunnah juga bisa menjadi sarana untuk memperkuat iman dan disiplin dalam menjalankan kewajiban agama. Oleh karena itu, penting bagi setiap muslim untuk memahami hukum dan tata cara shalat sunnah agar bisa melakukannya dengan benar dan sesuai ajaran Islam.

Shalat Sunnah Saat Safar: Hukum dan Peraturan

Saat seseorang sedang melakukan perjalanan (safar), hukum shalat sunnah mengalami perubahan. Dalam kondisi ini, seseorang diperbolehkan untuk melaksanakan shalat sunnah mutlak seperti shalat malam dan shalat dhuha. Namun, shalat sunnah rawatib selain shalat sunnah fajar (qobliyah shubuh) dilarang. Hal ini didasarkan pada hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyatakan bahwa beliau tidak pernah meninggalkan shalat sunnah fajar baik ketika bermukim maupun bersafar.

Menurut pendapat Syaikhul Islam dan muridnya Ibnul Qayyim, shalat sunnah rawatib tidak disyariatkan ketika safar. Hal ini dikarenakan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melakukan shalat sunnah fajar saat bersafar. Dengan demikian, shalat sunnah fajar tetap harus dilakukan, sementara shalat sunnah rawatib tidak boleh dilakukan selain shalat sunnah fajar.

Selain itu, shalat sunnah seperti shalat witir dan shalat qabliyah shubuh tetap dianjurkan untuk dilakukan saat safar. Hal ini didasarkan pada hadits yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah meninggalkan kedua shalat ini baik ketika bermukim maupun bersafar.

Ibnul Qayyim juga menyatakan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala memberi keringanan bagi musafir dengan menjadikan shalat yang empat raka’at menjadi dua raka’at. Jika shalat sunnah rawatib sebelum dan sesudah shalat fardhu disyari’atkan ketika safar, tentu mengerjakan shalat fardhu dengan sempurna (empat raka’at) lebih utama. Oleh karena itu, shalat sunnah rawatib tidak boleh dilakukan saat safar kecuali shalat sunnah fajar.

Shalat Sunnah Secara Berjama’ah: Kelebihan dan Kekurangan

Shalat sunnah secara berjama’ah adalah hal yang masih menjadi perdebatan antara para ulama. Beberapa ulama berpendapat bahwa shalat sunnah boleh dilakukan secara berjama’ah, sementara yang lain menganggap bahwa shalat sunnah lebih utama dilakukan sendirian (munfarid). Pendapat ini didasarkan pada berbagai riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melakukan shalat sunnah bersama para sahabat, termasuk dengan Anas, Ibnu Abbas, dan Hudzaifah.

Dalam beberapa riwayat, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melakukan shalat Dhuha di rumahnya, lalu para sahabat berada di belakang beliau, lalu mereka mengikuti shalat yang beliau lakukan. Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya. Ibnu Hajar mengatakan bahwa hadits ini dikeluarkan pula oleh Muslim dari riwayat Ibnu Wahb dari Yunus dalam hadits yang cukup panjang, tanpa menyebut “shalat Dhuha”. Al Haitsami mengatakan bahwa para perowinya adalah perowi yang shahih. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sebagaimana syarat Bukhari-Muslim.

Mayoritas ulama berpendapat bahwa shalat sunnah boleh dilakukan secara berjama’ah ataupun sendirian (munfarid) karena Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melakukan dua cara ini, namun yang paling sering dilakukan adalah secara sendirian (munfarid). Perlu diketahui bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melakukan shalat bersama Hudzaifah; bersama Anas, ibunya dan seorang anak yatim; beliau juga pernah mengimami para sahabat di rumah ‘Itban bin Malik; beliau pun pernah melaksanakan shalat bersama Ibnu ‘Abbas.

Imam Nawawi tatkala menjelaskan hadits mengenai qiyam Ramadhan (tarawih), beliau rahimahullah mengatakan, “Boleh mengerjakan shalat sunnah secara berjama’ah. Namun pilihan yang paling bagus adalah dilakukan sendiri-sendiri (munfarid) kecuali pada beberapa shalat khusus seperti shalat ‘ied, shalat kusuf (ketika terjadi gerhana), shalat istisqo’ (minta hujan), begitu pula dalam shalat tarawih menurut mayoritas ulama.”

Ketika shalat sunnah secara berjama’ah dilakukan dalam rangka pengajaran, maka ini diperbolehkan karena ada maslahat. Ibnu Hajar ketika menjelaskan shalat Anas bersama anak yatim di belakang Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam secara berjama’ah, beliau mengatakan, “Shalat sunnah yang utama adalah dilakukan secara munfarid (sendirian) jika memang di sana tidak ada maslahat seperti untuk mengajarkan orang lain. Namun dapat dikatakan bahwa jika shalat sunnah secara berjama’ah dilakukan dalam rangka pengajaran, maka ini dinilai lebih utama, lebih-lebih lagi pada diri Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam (yang bertugas untuk memberi contoh pada umatnya, -pen).”

Kesimpulan

Shalat sunnah memiliki peran penting dalam kehidupan seorang muslim. Dalam kondisi safar, shalat sunnah mutlak seperti shalat malam dan shalat dhuha diperbolehkan, sementara shalat sunnah rawatib selain shalat sunnah fajar dilarang. Shalat sunnah secara berjama’ah juga diperbolehkan, terutama dalam konteks pengajaran, namun lebih utama dilakukan sendirian. Dengan memahami hukum dan praktik shalat sunnah, seorang muslim dapat menjalankannya dengan benar dan sesuai ajaran Islam.

Untuk informasi lebih lanjut tentang shalat sunnah, Anda dapat mengunjungi sumber resmi.

Next Post Previous Post