Cara Membersihkan Najis
Pada dunia keagamaan, terutama dalam konteks Islam, membersihkan najis adalah bagian penting dari proses thaharah atau penyucian diri. Proses ini tidak hanya berkaitan dengan kebersihan fisik, tetapi juga memiliki makna spiritual yang mendalam. Dalam ajaran Islam, najis merujuk pada sesuatu yang dianggap kotor dan tidak layak untuk digunakan dalam ibadah, seperti darah haidh, air liur anjing, atau kulit bangkai. Maka dari itu, ada aturan-aturan spesifik dalam menghilangkan najis agar seseorang dapat kembali beribadah dengan benar. Artikel ini akan membahas secara lengkap cara-cara menyucikan berbagai jenis najis berdasarkan hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan pendapat para ulama.
Najis sering kali menjadi hal yang membingungkan bagi umat Muslim, terutama ketika mereka menghadapi situasi tertentu seperti terkena darah haidh, jilatan anjing, atau kulit bangkai. Meskipun demikian, dalam Islam, setiap kondisi najis memiliki solusi yang telah ditetapkan oleh syariat. Misalnya, jika seseorang terkena darah haidh, maka ia harus membersihkan pakaian tersebut dengan air dan bahan-bahan lain yang diperlukan. Sementara itu, jika bejana terkena jilatan anjing, maka cara membersihkannya adalah dengan mencuci sebanyak tujuh kali, termasuk salah satu di antaranya menggunakan tanah. Setiap tindakan ini dilakukan dengan tujuan agar najis tersebut benar-benar hilang dan tidak mengganggu proses ibadah.
Selain itu, ada juga kasus-kasus spesifik seperti kulit bangkai yang perlu disamak agar bisa dianggap suci. Namun, tidak semua jenis kulit bangkai bisa dibersihkan dengan cara ini. Contohnya, kulit serigala yang mati alami tidak bisa disamak karena hewan tersebut dianggap haram dimakan. Oleh karena itu, penting untuk memahami perbedaan antara jenis najis yang bisa dibersihkan dan yang tidak. Dengan memahami hal ini, umat Muslim dapat menjalankan ibadah dengan lebih tenang dan yakin bahwa dirinya sudah bersih dari najis.
Cara Membersihkan Kulit Bangkai yang Disamak
Salah satu bentuk najis yang sering muncul adalah kulit bangkai. Dalam Islam, kulit bangkai bisa menjadi najis, tetapi jika hewannya mati secara syar’i (disebabkan oleh penyembelihan yang sah), maka kulitnya bisa disamak dan dianggap suci. Namun, jika hewan tersebut mati tanpa melalui proses penyembelihan, maka kulitnya tetap najis meskipun sudah disamak.
Contoh yang sering muncul adalah kulit kambing yang mati akibat kecelakaan. Jika kambing tersebut tidak sempat disembelih, maka kulitnya bisa disamak dan dianggap suci. Namun, jika hewan tersebut adalah serigala, yang dianggap haram dimakan, maka kulitnya tetap najis meskipun sudah disamak. Hal ini didasarkan pada hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyatakan, “Kulit bangkai apa saja yang telah disamak, maka dia telah suci.”
Namun, hadits ini tidak berlaku umum. Ada pengecualian, seperti kulit hewan yang haram dimakan. Dalam hal ini, penggunaan tanah sebagai bahan pembersih tidak cukup untuk menghilangkan najis. Oleh karena itu, penting untuk memahami perbedaan antara jenis hewan dan cara membersihkannya.
Cara Membersihkan Bejana yang DiJilat Anjing
Bejana yang terkena jilatan anjing adalah salah satu bentuk najis yang sering dialami oleh umat Muslim. Dalam hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, “Cara menyucikan bejana di antara kalian apabila dijilat anjing adalah dicuci sebanyak tujuh kali dan awalnya dengan tanah.”
Ada beberapa pendapat mengenai cara membersihkan bejana yang dijilat anjing. Menurut riwayat yang berbeda, ada yang menyebutkan bahwa cucian pertama harus dilakukan dengan tanah, lalu sisanya dengan air. Ada juga yang menyebutkan bahwa salah satu dari tujuh kali pencucian dilakukan dengan tanah. Pendapat yang paling kuat adalah bahwa salah satu dari tujuh kali pencucian harus dilakukan dengan tanah, baik itu sebelum atau sesudah air.
Menurut Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, “Yang dimaksud ‘pertamanya dengan tanah’ ada tiga pilihan: [1] Awalnya disiram air, lalu dilumuri tanah, [2] Dilumuri tanah terlebih dahulu, lalu disiram air, atau [3] Mencampuri tanah dan air, lalu dilumuri pada bejana yang dijilat anjing.”
Dengan demikian, cara membersihkan bejana yang dijilat anjing adalah dengan mencuci sebanyak tujuh kali, salah satu di antaranya menggunakan tanah. Ini adalah cara yang paling aman dan sesuai dengan petunjuk Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Cara Membersihkan Pakaian yang Terkena Darah Haidh
Darah haidh adalah salah satu bentuk najis yang sering dialami oleh wanita. Dalam Islam, darah haidh dianggap najis, tetapi jika pakaian yang terkena darah tersebut sudah dibersihkan dengan cara yang benar, maka pakaian tersebut bisa digunakan kembali.
Hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan, “Singkirkan darah haidh dari pakaian tersebut kemudian keriklah kotoran yang masih tersisa dengan air, lalu cucilah. Kemudian shalatlah dengannya.”
Selain itu, ada juga hadits yang menyebutkan bahwa jika darah haidh masih tersisa setelah dibersihkan, maka itu tidak masalah. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Air tadi sudah menghilangkan najis tersebut, sehingga bekasnya tidaklah membahayakanmu.”
Namun, jika wanita ingin membersihkan darah haidh tersebut dengan menggunakan kayu sikat atau alat lainnya, atau dengan menggunakan air plus sabun, maka ini lebih baik. Dalilnya adalah hadits Ummu Qois binti Mihshon, yang menyatakan, “Gosoklah dengan tulang hean dan cucilah dengan air dan sidr (sejenis tanaman).”
Dengan demikian, cara membersihkan pakaian yang terkena darah haidh adalah dengan menghilangkan darah tersebut dengan air, lalu mencuci pakaian tersebut hingga bersih. Jika masih ada bekas darah, maka itu tidak mengapa selama sudah dibersihkan dengan air.
Cara Membersihkan Ujung Pakaian Wanita yang Terkena Najis
Ujung pakaian wanita sering kali terkena najis saat berjalan di tempat yang kotor. Dalam hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, “Tanah yang berikutnya akan menyucikan najis sebelumnya.”
Namun, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai arti hadits ini. Beberapa ulama berpendapat bahwa yang dimaksud adalah najis yang sifatnya kering, seperti tanah. Sementara itu, jika ujung pakaian terkena najis basah, maka harus dicuci.
Menurut Imam Ahmad dan Imam Malik, najis yang dimaksud dalam hadits ini adalah najis kering. Namun, menurut Al Baghowi, pendapat ini perlu dikritisi karena biasanya najis yang mengenai pakaian wanita adalah najis basah. Oleh karena itu, jika ujung pakaian terkena najis basah, maka harus dicuci.
Sementara itu, menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Muhammad, jika ujung pakaian terkena najis yang banyak, maka tidak boleh shalat dengan pakaian tersebut sampai dibersihkan. Dengan demikian, cara membersihkan ujung pakaian wanita yang terkena najis adalah dengan mencuci jika najisnya basah, atau dengan tanah jika najisnya kering.