Banyak yang Berangkat Haji, Sedikit yang Tiba Di Mekah

Muslim pilgrims performing Hajj in Mecca
Pada tahun 2025, ribuan umat Islam dari berbagai belahan dunia kembali berkumpul di kota suci Mekah untuk melaksanakan ibadah haji. Prosesi ini menjadi momen penting dalam kehidupan spiritual bagi jutaan orang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah SWT. Namun, meski jumlah peserta haji semakin meningkat setiap tahun, banyak dari mereka yang hanya sekadar "berangkat" haji tanpa memahami makna sebenarnya dari perjalanan suci ini.

Ibadah haji bukan sekadar ritual fisik, tetapi juga proses spiritual yang menguji ketulusan dan kesabaran seseorang. Dalam kitab-kitab klasik seperti Ahwalus Salaf fil Hajj karya Dr. Badr bin Nashir Al Badr, ditegaskan bahwa tidak semua yang berhaji benar-benar menjalani ibadah dengan ikhlas. Banyak orang yang melakukan perjalanan ke Mekah hanya untuk menunaikan kewajiban tanpa menyadari bahwa tujuan utama haji adalah mencari ridha Allah dan memperbaiki diri secara batiniah.

Kata-kata bijak Ibnu Umar dan Syuraih, “Banyak yang berangkat haji, sedikit yang berhaji,” mengingatkan kita bahwa kualitas ibadah lebih penting daripada kuantitasnya. Ibadah haji harus dilakukan dengan niat murni dan penuh kesadaran akan arti serta maknanya. Dalam QS. Al-Kahfi ayat 110, Allah Ta’ala berfirman, “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.” Ayat ini menjadi dasar utama dalam memahami konsep haji yang benar.

Haji adalah bentuk pengabdian yang sempurna jika dilakukan dengan ikhlas dan taat pada ajaran Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Pemahaman ini sangat penting karena banyak dari para jamaah haji tidak sepenuhnya menyadari bahwa haji bukan hanya tentang ritual fisik, tetapi juga bagaimana seseorang bisa menjadi lebih baik setelah pulang dari Mekah.

Makna Sebenarnya dari Haji

Haji adalah salah satu rukun Islam yang paling penting. Dalam kitab Ahwalus Salaf fil Hajj, disebutkan bahwa haji memiliki dua aspek utama: ikhlas dan taat pada sunnah. Kedua hal ini merupakan fondasi dari keberhasilan seseorang dalam menjalani ibadah haji.

Ikhlas berarti melakukan segala sesuatu hanya untuk mencari wajah Allah, bukan untuk mencari penghargaan atau pujian dari manusia. Sementara itu, taat pada sunnah berarti mengikuti tuntunan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam setiap langkah haji. Jika seseorang hanya fokus pada ritual fisik tanpa memahami nilai-nilai spiritualnya, maka haji yang dilakukannya tidak akan membawa manfaat yang sebenarnya.

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan apa yang ia niatkan.” Hadis ini mengingatkan kita bahwa niat adalah hal yang paling penting dalam setiap amalan, termasuk haji.

Perbedaan Antara Berangkat Haji dan Berhaji

Ibnu Umar dan Syuraih menyampaikan pernyataan bahwa “banyak yang berangkat haji, namun sedikit yang berhaji.” Perbedaan antara keduanya terletak pada niat dan kesadaran. Banyak orang yang hanya melakukan haji sebagai kewajiban tanpa memahami maknanya. Mereka mungkin sudah sampai di Mekah, melakukan tawaf, sa’i, dan lainnya, tetapi tidak merasa ada perubahan dalam diri mereka.

Sebaliknya, orang yang benar-benar “berhaji” adalah mereka yang melakukan ibadah haji dengan niat murni, penuh kesadaran, dan memperbaiki diri setelah kembali dari Mekah. Mereka memahami bahwa haji adalah kesempatan untuk membersihkan hati, memperkuat iman, dan menjauhi dosa.

Hikmah dari Surah Al-Kahfi Ayat 110

Ayat 110 dari Surah Al-Kahfi, yang berbunyi, “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya,” menjadi pedoman utama dalam menjalani haji.

Ayat ini mengingatkan kita bahwa haji tidak boleh dilakukan dengan niat yang tidak murni. Orang yang berhaji harus berusaha agar amalnya hanya untuk Allah, bukan untuk tujuan lain. Selain itu, ia juga harus menjaga kebersihan hati dan tidak menyembah selain Allah.

Dalam konteks haji, ini berarti bahwa setiap langkah yang dilakukan harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dan tanpa adanya unsur syirik. Misalnya, saat berdoa, seseorang harus memastikan bahwa ia hanya memohon kepada Allah, bukan kepada makhluk lain.

Contoh Nyata dari Para Ulama

Fudhail bin Iyadh, seorang ulama besar yang hidup pada abad ke-2 Hijriyah, pernah ditanya tentang ayat “Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya” (QS. Al-Mulk: 2). Ia menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “lebih baik amalnya” adalah keikhlasan dan kepatuhan terhadap sunnah.

Ini menunjukkan bahwa dalam ibadah haji, keikhlasan dan kepatuhan terhadap ajaran Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah hal yang paling penting. Tanpa kedua hal ini, ibadah haji tidak akan memberikan hasil yang sebenarnya.

Pentingnya Mengikuti Sunnah dalam Ibadah Haji

Dalam ibadah haji, setiap langkah harus dilakukan sesuai dengan tuntunan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Misalnya, dalam pelaksanaan tawaf, sa’i, dan wukuf di Arafah, setiap tindakan harus dilakukan dengan cara yang telah diajarkan oleh Rasulullah.

Jika seseorang hanya mengikuti ritual tanpa memahami maksudnya, maka ibadahnya akan sia-sia. Oleh karena itu, penting bagi para jamaah haji untuk mempelajari tata cara haji secara lengkap dan benar sebelum bertolak ke Mekah.

Kesimpulan

Haji adalah ibadah yang sangat mulia, tetapi hanya orang-orang yang benar-benar memahami maknanya yang akan mendapatkan manfaat sejati dari perjalanan ini. Banyak orang yang hanya sekadar “berangkat” haji, tetapi sedikit yang benar-benar “berhaji” dengan niat murni dan kesadaran penuh.

Dengan memahami konsep haji yang benar, kita dapat menjalani ibadah ini dengan penuh keyakinan dan kesadaran. Semoga Allah memberi kita taufik dan hidayah agar terus beribadah kepada-Nya dengan ikhlas dan taat pada sunnah.

Referensi Terkait

Next Post Previous Post