Tahlil Sebagai Budaya Pelanggeng Kemiskinan Di Madura

Penulis adalah Moh. Khoiruddin, Sarjana Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Opini -Budaya merupakan keragaman yang hidup mewarnai Indonesia menjadi ciri khas dari setiap daerah, budaya juga tergantung dimana ia berkembang, diadopsi, dan melekat dalam pola pikir menjadi landasan interaksi masyarakat. (Koentjaraningrat, 1990), dalam bukunya mengatakan kebudayaan adalah bagian dari keseluruhan tata pikir, tingkah laku dan hasil karya manusia yang ada dalam lingkup kehidupan sosial. Selain itu manusia dan budaya seperti halnya gula dan manisnya yang tak pernah lepas, maka wajar semua itu selalu beriringan dengan perkembangan interaksi sosial masyarakat. Seperti halnya budaya tahlil pada masyarakat Madura.

Madura merupakan daerah kecil didiami suku lokal, dengan empat kabupaten, Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. Masyarakat Madura merupakan etnis yang menjunjung tinggi nilai, kultur terutama budaya yang berbau agama, begitupun agama itu sendiri. Budaya yang berbungkus agama akan diperjuangkan mati-matian tanpa mengenal situasi. Seperti halnya carok lantaran memperjuangkan “harga diri” saat istri atau haknya diganggu orang lain. Dalam hal ini budaya tahlil hidup sederajat dengan budaya carok di Madura.

Tahlilan merupakan upacara seremonial yang sering diadakan oleh masyarakat pada umumnya untuk memperingati hari kematian. Wujudnya perkumpulan keluarga, handai tolan, begitupun tetangga membaca ayat Qur’an, zikir, serta doa untuk dikirimkan pada si mayit. Dari sekian bacaan yang terdapat kalimat tahlil berulang-ulang, maka ritual itu disebut dengan istilah tahlilan dan dilanjut dengan makan-makan. Pada dasarnya Islam berkembang tidak hampa budaya, sejak lahir ia sudah bersahutan dengannya dimanapun ia bernafas, karena memang semua itu harus dikawinkan dan diselaraskan dengan budaya lokal, sehingga sesuai dengan konteks yang ada.

Bagi masyarakat Madura, tahlil dan serangkaian makan-makan begitupun salam tempel (bisyaraoh) bagi para kiai yang hadir semua itu tidak lagi dipahami sebagai budaya, tetapi layaknya shalat fardhu yang harus dan wajib diadakan tanpa mengenal situasi. Tak jarang menghabiskan dana puluhan juta walau dengan cara berhutang, mengadai barang atau menjual tanah sekalipun. Sehingga hal ini bukan lagi budaya yang membawa inspirasi dari pola pikir masyarakat, tetapi menjadi ladang musibah bahkan tak jarang kemiskinan langgang dalam hidupnya lantaran terlilit hutang. 

Seharusnya yang menjadi tujuan utama berfikir bagaimana melestarikan agama sebagai budaya, dengan upaya melayani dan mewujudkan kepentingan masyarakat, bukan menjadi jurji besi yang menghadirkan ketakutan dan lilitan hutang. Hal ini sering terjadi di desa penulis yang berlokasi di desa Bujur Tengah Montok laok B Kec. Batumarmar Kab. Pamekasan Madura, di daerah ini lah budaya yang timpang itu sering terjadi.

Seharusnya masyarakat berupaya mendealektikkan ajaran inti Islam ke dalam budaya-budaya lokal dan diadaptasikan dengan situasi yang ada, karena pada dasarnya pengambilan keputusan hukum Islam selalu melihat kebutuhan dan kontek lokal penganutnya, bukan melahirkan kemiskinan dengan dalih budaya. Apa lagi budaya yang berbungkus ritual agama Islam.

Fenomena yang sangat meris disini adalah: (proses dan beberapa menu yang wajib ada saat tahlilan diselenggarakan). Dengan hidangan yang istimewa berupa (daging sapi, salam tempel bisyaroh rokok, dan berkat), semua itu merupakan barang yang wajib ada saat diselenggarakannya tahlil. Bahkan terkadang bukan hanya hari 1,3, dan hari ke 7 tetapi setiap malam, mulai dari hari pertama hingga hari ke 7. Semua ini memang sangat menjadi beban karena ketiban musibah dua kali, yang setelah hari ke 7 harus memikirkan pinjaman dan barang-barang yang digadai lantaran acara tersebut.

Semua ini pernah dirasakan oleh penulis, perihal semua kekurangan dan kebutuhan yang harus terpenuhi saat tahlil. Hal ini sudah tidak sejalan dengan fungsi budaya yang seharusnya memenuhi kebutuhan hidup masyarakat, malah menjadi beban baginya. Menurut Ashley Montagu, kebudayaan mencerminkan tanggapan manusia terhadap kebutuhan dasar hidupnya akan tetapi dalam hal ini tidak mencerminkan tujuan dan fungsi dari adanya budaya itu sendiri, malah bertolak belakang dengan tujuan dan pesan-pesannya.

Yang menjadi pertanyaan jika tuan rumah tidak mampu kenapa tidak menolak, mengadakan secara sederhana atau meniadakan?

Beberapa pertanyaan diatas tak lain menjadi keinginan ahlul musibah (tuan rumah yang kena musibah) akan tetapi lagi-lagi kebiasaan yang sudah melekat pada benak masyarakat dengan pemahaman tahlilan wajib dilaksanakan dengan serangkaian dan sajian yang mewah didalamnya. Dalam hal ini memang berlebihan karena memaksakan kehendak pada apa yang tidak seharusnya. Anehnya lagi tidak ada edukasi persuasif dari perangkat desa, tokoh masyarakat terutama tokoh agama yang memiliki tanggung jawab dan peran sentral secara sosio-kultural dalam lini masyarakat. Abdurrahman Wahid (Wahid, 2001), tokoh agama memiliki peran untuk menanggulangi beberapa ritual budaya yang sudah menyimpang dari esensi dan aturan agama. Yang seharusnya ahlul musibah mendapat hiburan dan sumbangan finansial malah mereka mendapat musibah dua kali.

Bagi suku Madura terutama masyarakat Montok Laok B Bujur Tengah Batumarmar Pamekasan. Menurut Abdur Rozaki dalam bukunya, (Rozaki, 2021), sosok tokoh agama memiliki peran yang fundamental dan sentral dalam sosio-kultural masyarakat. Karena mereka dijadikan rujukan ilmu agama pun sosial kehidupan, terlebih berkembangnya agama yang berbungkus budaya seperti budaya tahlilan ini. Harusnya bisa memberi pemahaman kepada masyarakat dari atas member atau secara persuasif tentang tahlil yang hukumnya sunnah (mendapat pahala jika dikerjakan tidak mendapat apa-apa bila ditinggalkan) yang sifatnya juga jaiz (boleh) artinya hal yang bersifat sunnah/jaiz itu boleh dikerjakan atau ditinggalkan. Paling tidak memperbaiki konsep atau cara penyajiannya, menyesuaikan kondisi dan situasi ahlul musibah. Dalam hal ini bukan berarti penulis tidak setuju dengan adanya tahlilan tetapi lagi-lagi saat ada acara ini (tahlilan) masyarakat tidak bisa menyesuaikan dengan keadaan ekonominya, terlalu berlebihan dan memaksakan hingga berhutang.

Imam Muhammad bin Ali Muhammad Asy-Syaukani (Al-Jabiri, 1991), Kebiasaan di berbagai negara seperti perkumpulan di masjid, rumah, di kubur bertujuan membaca Qur’an yang pahalanya ditujukan pada yang meninggal, hukumnya boleh jaiz, sejauh didalamnya tidak ada kemaksiatan dan kemudarotan. Sejauh perbincangan penulis dengan salah satu tokoh agama di Montok Laok B, ia menyampaikan bahwa ternyata memang sebagian besar tokoh agama disana mendukung dengan fenomena itu, dengan dalih hal itu sudah kehendak masyarakat. Padahal seharusnya memberikan pemahaman kepada masyarakat apa itu tahlil seperti apa dan bagaimana seharusnya. Karena tak jarang ahlul musibah mengurbankan sapi dan harta yang lain demi terselenggaranya tahlil dengan berhutang.

Perlu dipahami kembali bahwa, tahlilan di hari ke 1,3,7,40, dan 100 merupakan tradisi agama Hindu dan Budha, untuk proses selamatan atau doa, proses alam nirwana menghadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa mencapai alam Moksa (Khadiantoro, 2008). Setelah Islam masuk di Indonesia maka budaya tersebut esensinya (bacaannya) diganti dengan kalimat Thayyibah (kalimat yang baik) maka saat ini dikenal dengan sebutan tahlil. Maka dari itu semua perlunya kita merevitalisasi dan meninjau ulang tujuan dari adanya budaya tersebut dari fungsi, manfaat begitupun dari sudut pandang agama. Sehingga tidak ada penyimpangan yang mengakibatkan ketimpangan terlebih kemiskinan.

Untuk memperbaiki semua itu harus ada upaya preventif dari seluruh lapisan masyarakat, dari ahlul musibah, warga setempat, perangkat desa, tokoh masyarakat, terlebih tokoh agama yang memiliki peran sentral dan memang fungsinya untuk menasehati, mengarahkan, dan memberi paham pada orang-orang, tentang bagaimana wujud dan penyajian tahlil yang seharusnya. Bagaimana pesan Ki Hajar Dewantara tentang proses pembelajaran yang berbasis kebudayaan, yang kita kenal dengan Trikon yaitu konvergens (Yani, 2021).  bagaimana tujuan dalam kebudayaan itu tetap berlanjut dengan adanya dialektik kritis antara masa lalu dan perkembangannya, sehingga kebudayaan yang telah berkembang tidak kehilangan esensi dan tujuan yang ingin ia capai, dan bagaimana budaya itu berkembang sesuai porsinya seperti halnya tahlil yang harus melihat dan menyesuaikan ahlul musibah.

*) Penulis adalah Moh. Khoiruddin, Sarjana Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi Sabdaguru.com

Next Post Previous Post