Hari Pendidikan Nasional, Uwais Thoriq Nabhan Soroti Paradoks dan Serukan Reformasi Pendidikan
![]() |
Mantan Ketua BEM STIE GICI Business School periode 2023–2024 sekaligus Pemuda Kota Bogor, Uwais Thoriq Nabhan. (Foto: Dok/Ist). |
Sabda Guru, Bogor — Mantan Ketua BEM STIE GICI Business School periode 2023–2024 sekaligus Pemuda Kota Bogor, Uwais Thoriq Nabhan, menyerukan pentingnya reformasi pendidikan nasional yang lebih memanusiakan dan membebaskan.
Hal itu disampaikan Uwais dalam momentum peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang jatuh pada 2 Mei.
Sebagai pemuda yang aktif di berbagai kegiatan sosial, perekonomian, dan kewirausahaan, Uwais menilai pendidikan di Indonesia masih terjebak pada capaian-capaian formal seperti angka partisipasi, ijazah, dan gelar akademik, tetapi belum menyentuh akar esensial pendidikan.
“Pendidikan bukan sekadar mesin industri untuk mencetak pekerja, tetapi harus menjadi ruang emansipasi untuk membentuk manusia yang berpikir kritis, berbelas kasih, dan berdaya,” kata Uwais, Jumat (2/5/2025).
Uwais menyoroti paradoks yang terjadi dalam sistem pendidikan Indonesia. Di satu sisi, akses pendidikan semakin meluas, tetapi di sisi lain, kualitas literasi dan berpikir kritis masih rendah.
Berdasarkan data, rata-rata lama sekolah penduduk Indonesia baru mencapai sekitar 8,9 tahun, dan survei literasi nasional mencatat hanya 30 persen siswa yang mampu memahami bacaan kompleks dengan baik.
“Ini menunjukkan kita sedang menghadapi krisis: pendidikan gagal memanusiakan manusia, hanya mengejar gelar tanpa membentuk karakter dan nalar,” ujarnya.
Untuk menjawab tantangan tersebut, Uwais mengusulkan empat langkah strategis. Pertama, mereorientasi tujuan pendidikan dari sekadar akademis menuju penguatan kreativitas, keberanian berpikir, dan empati sosial.
Kedua, memperluas pemerataan akses dan kualitas, termasuk meningkatkan kapasitas guru, perpustakaan, dan infrastruktur digital secara inklusif.
Ketiga, memperkuat literasi kritis dan ekologis agar siswa dan mahasiswa mampu membaca persoalan zaman, tidak hanya membaca buku.
Keempat, membuka ruang partisipasi anak muda dalam perumusan kebijakan pendidikan agar mereka tidak sekadar menjadi objek, tetapi subjek perubahan.
“Generasi muda harus diberikan ruang untuk bertanya, menggugat, berdiskusi, bahkan berbeda pendapat. Dari sanalah lahir manusia yang merdeka,” ungkapnya.
Uwais juga menekankan pentingnya pendidikan yang relevan dengan realitas sosial dan budaya lokal.
Menurutnya, sistem pendidikan yang tercerabut dari nilai-nilai lokal akan melahirkan generasi yang kehilangan identitas dan sense of belonging terhadap masyarakatnya.
“Pendidikan bukan hanya soal pengetahuan, tetapi juga soal menanamkan rasa memiliki terhadap bangsa dan lingkungan sekitar. Ini esensi yang tidak boleh hilang,” tegasnya.
Uwais menutup refleksinya dengan menyerukan agar Hardiknas dimaknai sebagai momen kontemplasi bersama, bukan sekadar seremoni tahunan.
“Mari kita kembalikan pendidikan pada ruhnya: membebaskan, memanusiakan, dan membentuk karakter. Pendidikan harus menjadi cahaya bagi yang terpinggirkan,” tutupnya.